Justin Bieber

Kamis, 07 November 2013

SEJARAH PEMIKIRAN TOKOH-TOKOH ISLAM (IBN TAIMIYAH)

SEJARAH PEMIKIRAN TOKOH-TOKOH ISLAM
(IBN TAIMIYAH)
A.     Pendahuluan
“Enam puluh tahun dibawah penguasaan yang zalim jauh lebih baik ketimbang semalam terjerat dalam situasi yang anarkhis”, demikian salah satu fatwa Ibn Taimiyah yang terasa controversial. Tokoh salaf itu memang lebih dikenal sebagai ahli hadits yang puritan dan fundamentalis. Bagian dari daur hidupnya mesti melalui penjara karena sikap kerasnya menentang pemerintahan yang dipandang tidak segaris dengan ajaran Al-Qur’an. Fatwa-fatwa yang dikeluarkan juga sering bertabrakan dengan kebijakan penguasa. Ketegaran pribadinya memang tertopang dengan motifasi dengan meluruskan umat islam dari perilaku yang menyimpang dari ajaran. Oleh karenanya sepak terjang yang diwariskan kemudian lebih dikenal dengan gerakan purifikasire formatif.
Suatu kenyataan bahwa masa kehidupan Ibn Taimiyah penuh dengan peristiwa-peristiwa berbahaya sering terjadi kekacauan. Itulah masa-masa penting bagi kegiatan politik, dinamika social bahkan moral, ilmu dan agama. Untuk dapat mengetahui nilai perjuangan yang dilakukan oleh Syaikhul Islam Ibn Taimiyah, sekaligus mengetahui perangai dan keilmuannya, maka kita harus menengok masa ketika Ibn Taimiyah dilahirkan hingga membentuk cita-cita pembaharuannya. Bagaimana biografi/sejarah Ibn Taimiyah?, Bagaimana setting social budanya?, Bagaimana setting politiknya?, Bagaimana wacana keilmuan pada masanya? dan Apa saja metode istinbath yang digunakannya?. Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut makalh ini akan memaparkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan diatas.
B.     Sejarah Ibn Taimiyah
Nama lengkapnya adalah Taqi al-Din Abul Abbas Ibn Abdul Halim Ibn Abdul Salam Ibn Taimiyah. Goldziher melukiskannya sebagai “pemilik pribadi penting paling terkemuka abad ke 7 H”. Ibn Taimiyah lahir pada tanggal 22 Januari 1262 M ( 10 Rabi’ul Awwal 661 H ) di Harran, dekat damaskus, dari keluarga ulama’ Syiria yang setia pada ajaran agam dan amat terikat dengan mazhab Hambali. Sang kakek, Abdul Salam adalah seorang ulama’ dan pengkaji ( pemuka ) agama kesohor di Baghdad, Ibukota kekholifahan Abbasiyah dan kediaman yang disinggahinya pada tahun-tahun akhir kehidupannya.[1]
Keluarga Ibn Taimiyah telah terkenal intelek, banyak hafalan, dan jenius. Bapak dan kakeknya adalah orang yang amat kuat ingatannya. Namun demikian, Taqiyuddin Ibn Taimiyah, dalam hal itu masih mengungguli semua keluarganya. Sampai para ulama’ dan guru-gurunya pun terkagum-kagum terhadap kekuatan hafalan serta kejeniusannya. Bahkan dia juga terkenal di Damsyiq.[2]
Ibn Taimiyah adalah tokoh puncak dalam dunia keilmuan, amaliyah, kezuhudan, kerendahan hati, kesabaran, kewibawaan, keagunga, keikhlasan dan keteguhannya dalam mempedomani hadits-hadits Nabi SAW. Ibn Taimiyah dianggap bagai pedang yang terhungus di hadapan para penentang agama dan menggetarkan nyali para ahli bid’ah.
Disamping itu Ibn Taimiyah adalah mujtahid besar. Murid-muridnya yang terdiri dari para ulama’, ahli Fiqh, ahli Hadits Tafsir tak terhutung jumlahnya.[3]
Hari-hari terakhir dan wafatnya Ibn Taimiyah, Syaikh Zainuddin Abdurrahman, saudara sekandung Syaikhul Islam, mengatakan:
“Sesungguhnya ketika Syaikh telah mengkhatamkan delapan puluh kali, dia mulai membaca Al-Qur’an ” lagi. Dan ketika telah sampai kepada ayat:
¨bÎ) tûüÉ)­FçRùQ$# Îû ;M»¨Zy_ 9pktXur ÇÎÍÈ   Îû Ïyèø)tB A-ôϹ yYÏã 77Î=tB ¤ÏtGø)B ÇÎÎÈ    
Artinya : “Sesungguhnya orang-orang yang bertaqwa itu di dalam taman-taman dan sungai-sungai. Di tempat yang disenangi, di sisi Tuhan yang berkuasa.”(Q.S. al-Qamar : 54-55).
Syaikh meninggalkan aku dan duduk mempelajari Al-Qur’an bersama dengan Syaikh Abdullah bin Muhib dan Abdullah Az-Zar’i. keduanya adalah bersaudara. Sama-sama shalih dan taqwa. Syaikh sangat kagum terhadap bacaan keduanya. Hampir-hampir Syaikh menghabiskan masanya untuk belajar bersamanya.
Begitu wakil Damsyiq mendengar berita kesakitan Syaikh, langsung dia hendak menjenguk. Dia meminta izin untuk masuk, lalu diizinkan. Setelah masuk dia meminta maaf kepada Syaikh karena dia pernah menyakiti Syaikh. Kemudian Syaikh menjawabnya:
“Sunggh aku telah menghalalkanmu dan semua orang yang memusuhiku. Karena mereka tidak tahu bahwa aku dalam kebenaran. Aku juga memaafkan Sultan An-Nashir, yang telah memenjarakanku. Saya yakin dia melakukannya bukan atas kemauan sendiri. Pendeknya, aku telah memaafkan semua orang yang memusuhiku kecuali orang yang memusuhi Allah dan Rasul-Nya”.
Sakit itu berlangsung hampir tiga minggu, hingga akhirnya ajal datang menjemputnya, pada malam 22 Dzulqa’dah 728 H.  dia meninggal dunia dalam usia 67tahun. “ Setiap orang di dunia akan mati. Dan kekallah wajah Tuhanmu yang memiliki keagungan dan kemuliaan.[4]

C.     Setting Sosial  Budaya Ibn Taimiyah
Ibn Taimiyah dilahirkan lima tahun setelah masa kehancuran Baghdad dan tiga tahun setelah masuknya pasukan Tatar di Aleppo dan Damsyiq. Praktis sejak semula dia telah melihat bekas-bekas kehancuran kota-kota islam tersebut disamping mendengar kisah penyembelihan kaum muslimin serta kebrutalan tentara Tatar diberbagai tempat, sebagaiman hal itu sering dikatakan banyak orang. Ketika dia memasuki usia tujuh tahun, kejahatan Tatar telah melanda tanah tumpah darahnya, yaitu Hirah yang terletak di sebelah selatan Muhtalah (Iraq) antara sungai Dajlah dan Efrat. Keluarganya terpaksa harus mengungsi sebagaimana yang dilakukan oleh penduduk yang lain. Mereka lari meninggalkan Hirah menuju Damsyiq akibat kedzaliman Tatar. Sungguh kebiadaban Tatar telah menebarkan ketakutan di setiap lorong.
Tentu saja, kenangan buruk ini tidak akan hilang begitu saja. Ia tidak akan bisa terhapus dari ingatan. Bagi orang yang menyaksikan langsung bekas-bekas peperangan dan puing-puing kehancuran itu dengan mata keoala sendiri ditambah mendengar secara terinci dari orang-orang yang melihat, menyaksikan langsung dengan pemandangan-pemandangan itu, maka praktis kenangan itu akan menggores di hati, yakni kejatuhan dan kehinaan kaum muslimin, yang menumbuhkan dalam jiwanya suatu kemarahan dan kebencian terhadap orang-orang yang telah melakukan kebrutalan itu.[5]
Ibnu Taimiyah hidup pada masa dunia Islam mengalami puncak disintegrasi politik, dislokasi sosial dan dekadensi akhlak serta moral. Dari segi politik kekuasaan pemerintahnya yang seharusnya berada di tangan penguasa secara total beralih kepada penguasa lokal. Khalifah seolah kehilangan ”gigi taring”nya dalam memanage negara, semua diambil alih oleh penguasa daerah atau wilayah baik yang bergelar sultan, raja maupun amir. Wilayah kekuasaanpun semakin dipersempit dan bahkan ada yang direbut oleh penguasa-penguasa Tatar dari Timur dan oleh Krusades dari Barat.
Sementara dari segi sosial, Masyarakat dimana Ibnu Taimiyah hidup ini sangat heterogen baik dalam hal kebangsaan, status sosial, agama, aliran, budaya dan hukum. Sebagai akibat sering terjadinya perang, mobilitas penduduk dari berbagai bangsa sangat tinggi. Dalam satu wilayah terdapat banyak macam bangsa : Arab asal Irak, Arab asal Turki, Mesir, Turki, Tartar dan sebagainya sedang mereka semua berbeda satu sama lain dalam adat istiadat, tradisi, perilaku dan alam pikiran. Dan kesemuanya ini sangat merupakan potensi untuk timbulnya kerawanan-kerawanan kehidupan bernegara dan kelangsungan hidup sosial. Keserasian sosial dan pemupukan moral dan akhlaq merupakan suatu hal yang sangat sulit diciptakan.[6]

D.    Setting Politik Ibn Taimiyah
Ibn Taimiya dikenal sebagai orang yang kuat ingatan, dalam pemikiran, tajam intuisi, suka berdikari (berfikir dan bersikap bebas), setia kepada kebenaran, cakap berpidato dan lebih dari itu, dengan penuh keberanian dan ketekunan, ia memiliki semua persyaratan yang mengantarkannya kepada pribadi yang luar biasa. Berbagai keistimewaan itu masih didukung dengan pengetahuan yang luas sehingga wajar saja jika disebut sebagai pemilik “pribadi paling terkemuka”. Kelebihan-kelebihan moral dan intelektual Ibn Taimiyah juga dipertajam dengan alur kehidupannya yang penuh arti, yakni keterlibatannya dalam berbagai jabatan penting. Ia tidak hanya sebagai guru dan hakim sebagaimana layaknya tradisi sang kakek dan ayah, namun perkembangan politik memaksanya untuk memimpin perlawanan militer terhadap bangsa Mongol demi membela tanah air Syiria. Dalam berbagi kesempatan ia juga sering melontarkan ide dan gagasan yang lebih sering bertentangan dengan pendapat para penguasa. Meskipun sikap itu membuatnya dalam suasana terpojok dan sulit, tetapi ia tidak pernah goyah dari pendiriannya semula.
Ibn Taimiyah pertama kali bentrok dengan penguasa Mameluk pada tahun 1294 M, tatkal berusia 32 tahun dan memimpin protes di Damaskus menentang Katib Kristen (a clerk) yang dituduh menghina Nabi Muhammad. Sekaligus Katib itu ditahan dan dihukum, Ibn Taimiyah tak urung juga ikut tertawan lantaran dianggap menghasut rakyat.
Kerenggangan hubungan dengan Negara bermula dari berbagai pendapatnya dalam masah-masalah teologis tertentu. Pada tahun 1298 M ia mengemukakan pendapatnya tentang sifat-sifat Allah yang dianggap bertentangan dengan keyakinan ulama pemerintah di Damaskus dan Kairo. Pemerintah kemudian mengumpulkan wakil-wakil rakyat di dua kota itu dengan dipimpin ulam dan utusan-utusan pemerintah Mameluk yang terpandang untuk membahas pendapat Ibn Taimiyah yang controversial itu. Tahun 1305 M, ia dibawa ke Kairo untuk dipenjarakan, sementara penguasa setempat menyebarkan pengumuman yang berisi ancaman hukuman mati bagi siapapun yang membela pendapat Ibn Taimiyah. Ia melalui kehidupan penjara itu selama satu setengah tahun sebelun dibebaskan kembali karena intervensi salah seorang pejabat tinggi Syiria. Akan tetapi kemerdekaannya kembali pupus setahun kemudian ketika tokoh-tokoh sufi Kairo menggugat kutukan Ibn Taimiyah terhadap ittihadiyah para sufi (para sufi yang menganut ajaran ittihad dengan Allah). Peristiwa ini membawanya kembali dalam kehidupan penjara untuk yang ketiga kalinya. Ia ditahan di sebuah istana di Alexandria selama dua tahun sampai dibebaskan oleh sultan al-Malik al-Nasir.
Usai tiga tahun mengenyam kebebasan di Kairo, yang dijalaninya dengan kegiatan mengajar dan menulis. Ibn Taimiyah kembali ke Syiria pada tahun 1312 M. di Negeri itu, ia memimpin masyarakat untuk tidak mengecam pemerintahan sampai tahun 1318 M, ketika al-Malik al-Nasihir mengeluarkan larangan baginya untuk menyampaikan fatwa tentang masalah perceraian (talaq). Para anggota dewan dikumpulkan dan memutuskan menjebloskan kembali Ibn Taimiyah kedalam penjara karena tidak mematuhi perintah penguasa. Meskipun enam bulan kemudian ia dibebaskan, masalah tersebut belum juga reda karena anggota-anggota dewan yang lain menebar fitnah yang menghasilkan tambahan hukuman penjara lima bulan pada tahun 1320. Ia dipenjara kembali setelah lima tahun mereguk kebebasan dengan kegiatan mengajar dan menulis. Penyebabnya yang pokok adalah fatwa-fatwanya tentang larangan berziarah kubur. Dewan hakim (qadli-qadli) diminta bersidang oleh sultan. Keputusan mereka adalah memenjarakan Ibn Taimiyah yang kemudian Wafat dalam penjara itu pada tanggal 26 september 1328 M (67 tahun).[7]

E.     Wacaca Keilmuan Pada Masa Ibn Taimiyah
Sejak usia tujuh tahun Ibn Taimiyah sudah terlihat sebagai anak yang cerdas dan sudah hafal al-Qur’an. Bahkan kecerdasan ini bukan hanya terlihat dari kemampuan menghafal al-Qur’an, tetapi juga memahaminya secara mendalam. Sesudah itu ia belajar Ushul Fiqh kepada orang tuanya, Hadits pada Syeikh Syams al Din Abu Qadamah, Syeikh Zain al Din bin al Najjar, al Majd bin Assakir. Ia juga belajar bahasa arab pada Ibn Abd Qawa dan hafal serta memahami kitab sibawaih.
Perhatiannya pada bidang hadits sangat besar. Kutub al Sittah (enam kitab Hadits yang utama) dan al Masanit dipelajari dengan baik. Kitab Tafsir, Ushul Fiqh, Faraid juga dikuasai dengan baik. Selain itu ia juga mempelajari ilmu-ilmu yang lain; ilmu hitung, ilmu kalam dan filsafat.[8]
Ketika Ibn Taimiyah hampir mendekati usia 22 tahun, orang tuanya yang mulia, Abdul Halim Ibn Taimiyah meninggal dunia, yakni pada tahun 682 H. Hal demikian mengakibatkan kekosongan di tempat pengajaran di Darul-Hadits Asy-Syukriyah. Akan tetapi, hal itu tidak berlangsung lama. Pada tanggal 2 Muharram 683 H, kegiatan mengajar itu dilanjutkan oleh putranya yang cerdik pandai. Dia mengisi kekosongan itu dan mulai menyampaikan pelajarannya yang pertama. Ibn Taimiyah ketika itu baru berusia 22 tahun. Namun dia telah memulai jenjang mengajarnya yang pertama itu dihadapan pembesar ulama’ Damsyiq. Mereka yang hadir diantaranya Syaikh Tajuddin Al-Fazari, seorang Syaikh dari kalangan Syafi’iyah, Syaikh Zainuddin an-Naja al-Hambali dan lain-lain. Termasuk yang kal itu hadir adalah Syaikh Qadhil Qudhat Bahauddin Az-Zaki Asy-Syafi’i. pengajaran pertama yang dilakukan Ibn Taimiyah telah meninggalkan pengaruh pada jiwa para pembesar ulama tersebut. Hal itu menjadikan mereka mengetahui keluasan ilmu, kecerdasan, kemampuan, kefasihan dan keberanian seorang ulama muda, Ibn Taimiyah.
Ibn Katsir, salah seorang murid ibn Taimiyah, mencatat beberapa kejadian di sekitar tahun 683 H tentang pendidikan Ibn Taimiyah itu sebagai barikut:
“Merupakan suatu pelajaran yang amat besar yang telah dituliskan oleh Syaikh Tajuddin Al-Fazari dengan tangannya sendiri karena dipandang banyak faedah dan kebaikan hadirin. Sungguh para hadirin mengakui kebrilianan seorang yang relatif masih sangat muda. Ibn Taimiyah ketika itu, berusia 22 tahun.”
“Syaikh Taqiyuddin itu pula pada hari jum’at, 10 Safar, setelah shalat jum’at duduk di atas mimbar pada Universitas Al-Amwi untuk menyajikan materi tafsir al-Qur’an. Dia memulai pelajaran tafsirnya dari awal dan diikuti oleh banyak peminat dari berbagai ahli disiplin ilmu serta tingkat keagamaan, kezuhudan, dan ibadah. Tentu saja nama Ibn Taimiyah kemudian melambung diberbagai penjuru negeri karena kegiatan itu sempat berlangsung beberapa tahun.”[9]

F.      Metode Istinbath Ibn Taimiyah
Syaikhul Islam Ibn Taimiyah telah menguasai ilmu-ilmu lengkap dengan dasar-dasarnya. Sehingga, tampak bagai matahari di siang bolong, dengan nasihat, pengajaran, dan tulisan-tulisannya. Kini, mesti menoleh kepada sisi lain. Dia harus mengabdikan diri dengan segala kelebihannya untuk menggeluti sesuatu yang tidak kalah penting, yaitu fiqh islam.[10]
Menurut Ibn Taimiyah dan barangkali semua pengikut Hambali, sumber-sumber hukum itu adalah (1) sumber yang berupa firman suci yang terungkap dalam kitab sucu al-Qur’an (2) Sunnah yang tidak dianggap sebagai sumber lain, tetapi lebih tepat disebut sebagai pilahan serta penjelasan lebih rinci bagi prinsip-prinsip umum yang dimuat dalam al-Qur’an. (3) Ijma’ dan (4) Qiyas hanya dapat digunakan sepanjang tidak menyimpang dari Qur’an dan Sunnah.[11]

G.    Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan diatas dapat ditarik kesimpilan bahwa nama Ibn Taimiyah adalah Taqi al-Din Abul Abbas Ibn Abdul Halim Ibn Abdul Salam Ibn Taimiyah. Goldziher melukiskannya sebagai “pemilik pribadi penting paling terkemuka abad ke 7 H”. Ibn Taimiyah lahir pada tanggal 22 Januari 1262 M ( 10 Rabi’ul Awwal 661 H ) di Harran, dekat damaskus, dari keluarga ulama’ Syiria yang setia pada ajaran agam dan amat terikat dengan mazhab Hambali. Sang kakek, Abdul Salam adalah seorang ulama’ dan pengkaji ( pemuka ) agama kesohor di Baghdad, ibukota kekholifahan Abbasiyah dan kediaman yang disinggahinya pada tahun-tahun akhir kehidupannya. Beliau wafat dalam penjara itu pada tanggal 26 september 1328 M (67 tahun).
Ibn Taimiyah hidup di masa ketika umat islam telah mengalami kebekuan dari tradisi yang kaku, yang dalam banyak hal mengandung praktek-praktek yang menyimpang dari syari’ah arau disebut bid’ah. Ibn Taimiyah tidak semata-mata murni bersifat keagamaan, tetapi juga memiliki tujuan reformasi sosial. Sikap penentangan Ibn Taimiyah terhadap fatatisme merupakan bagian dari perjuangan untuk melawan ketidak adilan sosial. Ia percaya bahwa tujuan dari semua wahyu adalah membimbing manusia dalam menegakkan keadilan dan menolak kekerasan.
Dalam hal politik Ibn Taimiyah juga menduduki berbagai jabatan penting. Ia memimpin perlawanan militer terhadap bangsa Mongol demi membela tanah air Syiria. Dalam berbagi kesempatan ia juga sering melontarkan ide dan gagasan yang lebih sering bertentangan dengan pendapat para penguasa. Meskipun sikap itu membuatnya dalam suasana terpojok dan sulit, tetapi ia tidak pernah goyah dari pendiriannya semula.
Syaikhul Islam Ibn Taimiyah banyak menguasai ilmu pengetahuan karena ketekunannya dalam belajar. Sejak umur 7 tahun beliau sudah hafal al-Qur’an. Beliau menguasai berbagai ilmu, mulai ilmu Tafsir, Hadits, Ilmu Hitung, Teologi dan lain-lain. Sejak di tinggal wafat ayahnya pada umur 22 tahun Ia mulai mengajar.
Metode istinbath yang digunakan Ibn Taimiyah yaitu:
Ø  Al-Qur’an,
Ø  Sunnah,
Ø  Ijma’ dan
Ø  Qiyas.
Demikian makalah yang dapat kami buat, semoga bermanfa’at. Kami sadar bahwa banyak kesalahan dalam pembuatan makalah ini, baik dari tulisan maupun susunannya. Kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan, untuk penyusunan makalah yang selanjutnya agar  menjadi lebih baik.



[1] Khalid Ibrahim Jindan, Teori Pemerintahan Islam Menurut Ibn Taimiyah, (Jakarta : PT Rineka cipta, 1994), hal. 22.
[2] Abul Hasan Ali An-Nadawi, Syikhul Islam Ibn Taimiyah, (Solo : CV. Pustaka Mantiq, 1995), hal. 43.
[3] Abdullah Mustofa Al-Maraghi, Pakar-Pakar Fiqh Sepanjang Sejarah, (Yogyakarta : LKPSM, 2001), hal. 238
[4] Abul Hasan Ali An-Nadawi, Syikhul Islam Ibn Taimiyah, (Solo : CV. Pustaka Mantiq, 1995), hal. 121.

[5] Abul Hasan Ali An-Nadawi, Syikhul Islam Ibn Taimiyah, (Solo : CV. Pustaka Mantiq, 1995), hal.28-29.
[6] http://referensiagama.blogspot.com/2011/01/ibn-taimiyah.html. diunduh pada tanggal 25 oktober 2013 jam 20.15 WIB.
[7] Khalid Ibrahim Jindan, Teori Pemerintahan Islam Menurut Ibn Taimiyah, (Jakarta : PT Rineka cipta, 1994), hal. 23-25.
[8]  Abdullah Mustofa Al-Maraghi, Pakar-Pakar Fiqh Sepanjang Sejarah, (Yogyakarta : LKPSM, 2001), hal. 237-238.
[9] Abul Hasan Ali An-Nadawi, Syikhul Islam Ibn Taimiyah, (Solo : CV. Pustaka Mantiq, 1995), hal. 48
[10] Abul Hasan Ali An-Nadawi, Syikhul Islam Ibn Taimiyah, (Solo : CV. Pustaka Mantiq, 1995), hal. 109.
[11] Khalid Ibrahim Jindan, Teori Pemerintahan Islam Menurut Ibn Taimiyah, (Jakarta : PT Rineka cipta, 1994), hal. 53.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar