SEJARAH PEMIKIRAN TOKOH-TOKOH ISLAM
(IBN TAIMIYAH)
A. Pendahuluan
“Enam puluh tahun dibawah penguasaan yang zalim jauh lebih baik
ketimbang semalam terjerat dalam situasi yang anarkhis”, demikian salah satu
fatwa Ibn Taimiyah yang terasa controversial. Tokoh salaf itu memang lebih
dikenal sebagai ahli hadits yang puritan dan fundamentalis. Bagian dari daur
hidupnya mesti melalui penjara karena sikap kerasnya menentang pemerintahan
yang dipandang tidak segaris dengan ajaran Al-Qur’an. Fatwa-fatwa yang dikeluarkan
juga sering bertabrakan dengan kebijakan penguasa. Ketegaran pribadinya memang
tertopang dengan motifasi dengan meluruskan umat islam dari perilaku yang
menyimpang dari ajaran. Oleh karenanya sepak terjang yang diwariskan kemudian
lebih dikenal dengan gerakan purifikasire formatif.
Suatu kenyataan bahwa masa kehidupan Ibn Taimiyah penuh dengan
peristiwa-peristiwa berbahaya sering terjadi kekacauan. Itulah masa-masa
penting bagi kegiatan politik, dinamika social bahkan moral, ilmu dan agama.
Untuk dapat mengetahui nilai perjuangan yang dilakukan oleh Syaikhul Islam Ibn
Taimiyah, sekaligus mengetahui perangai dan keilmuannya, maka kita harus
menengok masa ketika Ibn Taimiyah dilahirkan hingga membentuk cita-cita
pembaharuannya. Bagaimana biografi/sejarah Ibn Taimiyah?, Bagaimana setting
social budanya?, Bagaimana setting politiknya?, Bagaimana wacana keilmuan pada
masanya? dan Apa saja metode istinbath yang digunakannya?. Untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan tersebut makalh ini akan memaparkan jawaban atas
pertanyaan-pertanyaan diatas.
B. Sejarah Ibn Taimiyah
Nama lengkapnya adalah Taqi al-Din Abul
Abbas Ibn Abdul Halim Ibn Abdul Salam Ibn Taimiyah. Goldziher melukiskannya
sebagai “pemilik pribadi penting paling terkemuka abad ke 7 H”. Ibn Taimiyah
lahir pada tanggal 22 Januari 1262 M ( 10 Rabi’ul Awwal 661 H ) di Harran,
dekat damaskus, dari keluarga ulama’ Syiria yang setia pada ajaran agam dan
amat terikat dengan mazhab Hambali. Sang kakek, Abdul Salam adalah seorang
ulama’ dan pengkaji ( pemuka ) agama kesohor di Baghdad, Ibukota kekholifahan
Abbasiyah dan kediaman yang disinggahinya pada tahun-tahun akhir kehidupannya.
Keluarga Ibn Taimiyah telah terkenal
intelek, banyak hafalan, dan jenius. Bapak dan kakeknya adalah orang yang amat
kuat ingatannya. Namun demikian, Taqiyuddin Ibn Taimiyah, dalam hal itu masih
mengungguli semua keluarganya. Sampai para ulama’ dan guru-gurunya pun
terkagum-kagum terhadap kekuatan hafalan serta kejeniusannya. Bahkan dia juga
terkenal di Damsyiq.
Ibn Taimiyah adalah tokoh puncak dalam
dunia keilmuan, amaliyah, kezuhudan, kerendahan hati, kesabaran, kewibawaan,
keagunga, keikhlasan dan keteguhannya dalam mempedomani hadits-hadits Nabi SAW.
Ibn Taimiyah dianggap bagai pedang yang terhungus di hadapan para penentang
agama dan menggetarkan nyali para ahli bid’ah.
Disamping itu Ibn Taimiyah adalah mujtahid
besar. Murid-muridnya yang terdiri dari para ulama’, ahli Fiqh, ahli Hadits
Tafsir tak terhutung jumlahnya.
Hari-hari terakhir dan wafatnya Ibn Taimiyah,
Syaikh Zainuddin Abdurrahman, saudara sekandung Syaikhul Islam, mengatakan:
“Sesungguhnya ketika Syaikh telah
mengkhatamkan delapan puluh kali, dia mulai membaca Al-Qur’an ” lagi. Dan
ketika telah sampai kepada ayat:
¨bÎ)
tûüÉ)FçRùQ$#
Îû
;MȬZy_
9pktXur
ÇÎÍÈ Îû
Ïyèø)tB
A-ôϹ
yYÏã
77Î=tB
¤ÏtGø)B
ÇÎÎÈ
Artinya : “Sesungguhnya orang-orang yang
bertaqwa itu di dalam taman-taman dan sungai-sungai. Di tempat yang disenangi,
di sisi Tuhan yang berkuasa.”(Q.S. al-Qamar : 54-55).
Syaikh meninggalkan aku dan duduk
mempelajari Al-Qur’an bersama dengan Syaikh Abdullah bin Muhib dan Abdullah
Az-Zar’i. keduanya adalah bersaudara. Sama-sama shalih dan taqwa. Syaikh sangat
kagum terhadap bacaan keduanya. Hampir-hampir Syaikh menghabiskan masanya untuk
belajar bersamanya.
Begitu wakil Damsyiq mendengar berita
kesakitan Syaikh, langsung dia hendak menjenguk. Dia meminta izin untuk masuk,
lalu diizinkan. Setelah masuk dia meminta maaf kepada Syaikh karena dia pernah
menyakiti Syaikh. Kemudian Syaikh menjawabnya:
“Sunggh aku telah menghalalkanmu dan semua
orang yang memusuhiku. Karena mereka tidak tahu bahwa aku dalam kebenaran. Aku
juga memaafkan Sultan An-Nashir, yang telah memenjarakanku. Saya yakin dia
melakukannya bukan atas kemauan sendiri. Pendeknya, aku telah memaafkan semua
orang yang memusuhiku kecuali orang yang memusuhi Allah dan Rasul-Nya”.
Sakit itu berlangsung hampir tiga minggu,
hingga akhirnya ajal datang menjemputnya, pada malam 22 Dzulqa’dah 728 H. dia meninggal dunia dalam usia 67tahun. “
Setiap orang di dunia akan mati. Dan kekallah wajah Tuhanmu yang memiliki
keagungan dan kemuliaan.
C. Setting Sosial Budaya Ibn Taimiyah
Ibn Taimiyah dilahirkan lima tahun setelah
masa kehancuran Baghdad dan tiga tahun setelah masuknya pasukan Tatar di Aleppo
dan Damsyiq. Praktis sejak semula dia telah melihat bekas-bekas kehancuran
kota-kota islam tersebut disamping mendengar kisah penyembelihan kaum muslimin
serta kebrutalan tentara Tatar diberbagai tempat, sebagaiman hal itu sering
dikatakan banyak orang. Ketika dia memasuki usia tujuh tahun, kejahatan Tatar
telah melanda tanah tumpah darahnya, yaitu Hirah yang terletak di sebelah
selatan Muhtalah (Iraq) antara sungai Dajlah dan Efrat. Keluarganya terpaksa
harus mengungsi sebagaimana yang dilakukan oleh penduduk yang lain. Mereka lari
meninggalkan Hirah menuju Damsyiq akibat kedzaliman Tatar. Sungguh kebiadaban
Tatar telah menebarkan ketakutan di setiap lorong.
Tentu saja, kenangan buruk ini tidak akan
hilang begitu saja. Ia tidak akan bisa terhapus dari ingatan. Bagi orang yang
menyaksikan langsung bekas-bekas peperangan dan puing-puing kehancuran itu
dengan mata keoala sendiri ditambah mendengar secara terinci dari orang-orang
yang melihat, menyaksikan langsung dengan pemandangan-pemandangan itu, maka
praktis kenangan itu akan menggores di hati, yakni kejatuhan dan kehinaan kaum
muslimin, yang menumbuhkan dalam jiwanya suatu kemarahan dan kebencian terhadap
orang-orang yang telah melakukan kebrutalan itu.
Ibnu
Taimiyah hidup pada masa dunia Islam mengalami puncak disintegrasi politik,
dislokasi sosial dan dekadensi akhlak serta moral. Dari segi politik kekuasaan
pemerintahnya yang seharusnya berada di tangan penguasa secara total beralih
kepada penguasa lokal. Khalifah seolah kehilangan ”gigi taring”nya dalam
memanage negara, semua diambil alih oleh penguasa daerah atau wilayah baik yang
bergelar sultan, raja maupun amir. Wilayah kekuasaanpun semakin dipersempit dan
bahkan ada yang direbut oleh penguasa-penguasa Tatar dari Timur dan oleh
Krusades dari Barat.
Sementara
dari segi sosial, Masyarakat dimana Ibnu Taimiyah hidup ini sangat heterogen
baik dalam hal kebangsaan, status sosial, agama, aliran, budaya dan hukum. Sebagai
akibat sering terjadinya perang, mobilitas penduduk dari berbagai bangsa sangat
tinggi. Dalam satu wilayah terdapat banyak macam bangsa : Arab asal Irak, Arab
asal Turki, Mesir, Turki, Tartar dan sebagainya sedang mereka semua berbeda
satu sama lain dalam adat istiadat, tradisi, perilaku dan alam pikiran. Dan
kesemuanya ini sangat merupakan potensi untuk timbulnya kerawanan-kerawanan
kehidupan bernegara dan kelangsungan hidup sosial. Keserasian sosial dan
pemupukan moral dan akhlaq merupakan suatu hal yang sangat sulit diciptakan.
D. Setting Politik Ibn Taimiyah
Ibn Taimiya dikenal sebagai orang yang kuat
ingatan, dalam pemikiran, tajam intuisi, suka berdikari (berfikir dan bersikap
bebas), setia kepada kebenaran, cakap berpidato dan lebih dari itu, dengan
penuh keberanian dan ketekunan, ia memiliki semua persyaratan yang
mengantarkannya kepada pribadi yang luar biasa. Berbagai keistimewaan itu masih
didukung dengan pengetahuan yang luas sehingga wajar saja jika disebut sebagai
pemilik “pribadi paling terkemuka”. Kelebihan-kelebihan moral dan intelektual
Ibn Taimiyah juga dipertajam dengan alur kehidupannya yang penuh arti, yakni
keterlibatannya dalam berbagai jabatan penting. Ia tidak hanya sebagai guru dan
hakim sebagaimana layaknya tradisi sang kakek dan ayah, namun perkembangan
politik memaksanya untuk memimpin perlawanan militer terhadap bangsa Mongol
demi membela tanah air Syiria. Dalam berbagi kesempatan ia juga sering
melontarkan ide dan gagasan yang lebih sering bertentangan dengan pendapat para
penguasa. Meskipun sikap itu membuatnya dalam suasana terpojok dan sulit,
tetapi ia tidak pernah goyah dari pendiriannya semula.
Ibn Taimiyah pertama kali bentrok dengan
penguasa Mameluk pada tahun 1294 M, tatkal berusia 32 tahun dan memimpin protes
di Damaskus menentang Katib Kristen (a clerk) yang dituduh menghina Nabi
Muhammad. Sekaligus Katib itu ditahan dan dihukum, Ibn Taimiyah tak urung juga
ikut tertawan lantaran dianggap menghasut rakyat.
Kerenggangan hubungan dengan Negara bermula
dari berbagai pendapatnya dalam masah-masalah teologis tertentu. Pada tahun 1298
M ia mengemukakan pendapatnya tentang sifat-sifat Allah yang dianggap
bertentangan dengan keyakinan ulama pemerintah di Damaskus dan Kairo.
Pemerintah kemudian mengumpulkan wakil-wakil rakyat di dua kota itu dengan
dipimpin ulam dan utusan-utusan pemerintah Mameluk yang terpandang untuk
membahas pendapat Ibn Taimiyah yang controversial itu. Tahun 1305 M, ia dibawa
ke Kairo untuk dipenjarakan, sementara penguasa setempat menyebarkan pengumuman
yang berisi ancaman hukuman mati bagi siapapun yang membela pendapat Ibn
Taimiyah. Ia melalui kehidupan penjara itu selama satu setengah tahun sebelun
dibebaskan kembali karena intervensi salah seorang pejabat tinggi Syiria. Akan
tetapi kemerdekaannya kembali pupus setahun kemudian ketika tokoh-tokoh sufi
Kairo menggugat kutukan Ibn Taimiyah terhadap ittihadiyah para sufi (para sufi
yang menganut ajaran ittihad dengan Allah). Peristiwa ini membawanya kembali
dalam kehidupan penjara untuk yang ketiga kalinya. Ia ditahan di sebuah istana
di Alexandria selama dua tahun sampai dibebaskan oleh sultan al-Malik al-Nasir.
Usai tiga tahun mengenyam kebebasan di
Kairo, yang dijalaninya dengan kegiatan mengajar dan menulis. Ibn Taimiyah
kembali ke Syiria pada tahun 1312 M. di Negeri itu, ia memimpin masyarakat
untuk tidak mengecam pemerintahan sampai tahun 1318 M, ketika al-Malik
al-Nasihir mengeluarkan larangan baginya untuk menyampaikan fatwa tentang
masalah perceraian (talaq). Para anggota dewan dikumpulkan dan memutuskan
menjebloskan kembali Ibn Taimiyah kedalam penjara karena tidak mematuhi
perintah penguasa. Meskipun enam bulan kemudian ia dibebaskan, masalah tersebut
belum juga reda karena anggota-anggota dewan yang lain menebar fitnah yang
menghasilkan tambahan hukuman penjara lima bulan pada tahun 1320. Ia dipenjara
kembali setelah lima tahun mereguk kebebasan dengan kegiatan mengajar dan
menulis. Penyebabnya yang pokok adalah fatwa-fatwanya tentang larangan
berziarah kubur. Dewan hakim (qadli-qadli) diminta bersidang oleh sultan.
Keputusan mereka adalah memenjarakan Ibn Taimiyah yang kemudian Wafat dalam
penjara itu pada tanggal 26 september 1328 M (67 tahun).
E. Wacaca Keilmuan Pada Masa Ibn Taimiyah
Sejak usia tujuh tahun Ibn Taimiyah sudah
terlihat sebagai anak yang cerdas dan sudah hafal al-Qur’an. Bahkan kecerdasan
ini bukan hanya terlihat dari kemampuan menghafal al-Qur’an, tetapi juga
memahaminya secara mendalam. Sesudah itu ia belajar Ushul Fiqh kepada orang
tuanya, Hadits pada Syeikh Syams al Din Abu Qadamah, Syeikh Zain al Din bin al
Najjar, al Majd bin Assakir. Ia juga belajar bahasa arab pada Ibn Abd Qawa dan
hafal serta memahami kitab sibawaih.
Perhatiannya pada bidang hadits sangat
besar. Kutub al Sittah (enam kitab Hadits yang utama) dan al Masanit
dipelajari dengan baik. Kitab Tafsir, Ushul Fiqh, Faraid juga dikuasai
dengan baik. Selain itu ia juga mempelajari ilmu-ilmu yang lain; ilmu hitung,
ilmu kalam dan filsafat.
Ketika Ibn Taimiyah hampir mendekati usia
22 tahun, orang tuanya yang mulia, Abdul Halim Ibn Taimiyah meninggal dunia,
yakni pada tahun 682 H. Hal demikian mengakibatkan kekosongan di tempat
pengajaran di Darul-Hadits Asy-Syukriyah. Akan tetapi, hal itu tidak
berlangsung lama. Pada tanggal 2 Muharram 683 H, kegiatan mengajar itu
dilanjutkan oleh putranya yang cerdik pandai. Dia mengisi kekosongan itu dan
mulai menyampaikan pelajarannya yang pertama. Ibn Taimiyah ketika itu baru
berusia 22 tahun. Namun dia telah memulai jenjang mengajarnya yang pertama itu
dihadapan pembesar ulama’ Damsyiq. Mereka yang hadir diantaranya Syaikh
Tajuddin Al-Fazari, seorang Syaikh dari kalangan Syafi’iyah, Syaikh Zainuddin
an-Naja al-Hambali dan lain-lain. Termasuk yang kal itu hadir adalah Syaikh
Qadhil Qudhat Bahauddin Az-Zaki Asy-Syafi’i. pengajaran pertama yang dilakukan
Ibn Taimiyah telah meninggalkan pengaruh pada jiwa para pembesar ulama
tersebut. Hal itu menjadikan mereka mengetahui keluasan ilmu, kecerdasan,
kemampuan, kefasihan dan keberanian seorang ulama muda, Ibn Taimiyah.
Ibn Katsir, salah seorang murid ibn
Taimiyah, mencatat beberapa kejadian di sekitar tahun 683 H tentang pendidikan
Ibn Taimiyah itu sebagai barikut:
“Merupakan suatu pelajaran yang amat besar yang telah
dituliskan oleh Syaikh Tajuddin Al-Fazari dengan tangannya sendiri karena
dipandang banyak faedah dan kebaikan hadirin. Sungguh para hadirin mengakui
kebrilianan seorang yang relatif masih sangat muda. Ibn Taimiyah ketika itu,
berusia 22 tahun.”
“Syaikh Taqiyuddin itu pula pada hari jum’at, 10
Safar, setelah shalat jum’at duduk di atas mimbar pada Universitas Al-Amwi
untuk menyajikan materi tafsir al-Qur’an. Dia memulai pelajaran tafsirnya dari
awal dan diikuti oleh banyak peminat dari berbagai ahli disiplin ilmu serta
tingkat keagamaan, kezuhudan, dan ibadah. Tentu saja nama Ibn Taimiyah kemudian
melambung diberbagai penjuru negeri karena kegiatan itu sempat berlangsung
beberapa tahun.”
F. Metode Istinbath Ibn Taimiyah
Syaikhul Islam Ibn Taimiyah telah menguasai
ilmu-ilmu lengkap dengan dasar-dasarnya. Sehingga, tampak bagai matahari di
siang bolong, dengan nasihat, pengajaran, dan tulisan-tulisannya. Kini, mesti
menoleh kepada sisi lain. Dia harus mengabdikan diri dengan segala kelebihannya
untuk menggeluti sesuatu yang tidak kalah penting, yaitu fiqh islam.
Menurut Ibn Taimiyah dan barangkali semua
pengikut Hambali, sumber-sumber hukum itu adalah (1) sumber yang berupa firman
suci yang terungkap dalam kitab sucu al-Qur’an (2) Sunnah yang tidak dianggap
sebagai sumber lain, tetapi lebih tepat disebut sebagai pilahan serta
penjelasan lebih rinci bagi prinsip-prinsip umum yang dimuat dalam al-Qur’an.
(3) Ijma’ dan (4) Qiyas hanya dapat digunakan sepanjang tidak menyimpang dari
Qur’an dan Sunnah.
G. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan diatas dapat ditarik
kesimpilan bahwa nama Ibn Taimiyah adalah Taqi al-Din Abul Abbas Ibn Abdul
Halim Ibn Abdul Salam Ibn Taimiyah. Goldziher melukiskannya sebagai “pemilik
pribadi penting paling terkemuka abad ke 7 H”. Ibn Taimiyah lahir pada tanggal
22 Januari 1262 M ( 10 Rabi’ul Awwal 661 H ) di Harran, dekat damaskus, dari
keluarga ulama’ Syiria yang setia pada ajaran agam dan amat terikat dengan
mazhab Hambali. Sang kakek, Abdul Salam adalah seorang ulama’ dan pengkaji (
pemuka ) agama kesohor di Baghdad, ibukota kekholifahan Abbasiyah dan kediaman
yang disinggahinya pada tahun-tahun akhir kehidupannya. Beliau wafat dalam
penjara itu pada tanggal 26 september 1328 M (67 tahun).
Ibn Taimiyah hidup di masa ketika umat islam
telah mengalami kebekuan dari tradisi yang kaku, yang dalam banyak hal
mengandung praktek-praktek yang menyimpang dari syari’ah arau disebut bid’ah. Ibn
Taimiyah tidak semata-mata murni bersifat keagamaan, tetapi juga memiliki
tujuan reformasi sosial. Sikap penentangan Ibn Taimiyah terhadap fatatisme
merupakan bagian dari perjuangan untuk melawan ketidak adilan sosial. Ia
percaya bahwa tujuan dari semua wahyu adalah membimbing manusia dalam
menegakkan keadilan dan menolak kekerasan.
Dalam hal politik Ibn Taimiyah juga
menduduki berbagai jabatan penting. Ia memimpin perlawanan militer terhadap
bangsa Mongol demi membela tanah air Syiria. Dalam berbagi kesempatan ia juga
sering melontarkan ide dan gagasan yang lebih sering bertentangan dengan
pendapat para penguasa. Meskipun sikap itu membuatnya dalam suasana terpojok
dan sulit, tetapi ia tidak pernah goyah dari pendiriannya semula.
Syaikhul Islam Ibn Taimiyah banyak
menguasai ilmu pengetahuan karena ketekunannya dalam belajar. Sejak umur 7
tahun beliau sudah hafal al-Qur’an. Beliau menguasai berbagai ilmu, mulai ilmu
Tafsir, Hadits, Ilmu Hitung, Teologi dan lain-lain. Sejak di tinggal wafat
ayahnya pada umur 22 tahun Ia mulai mengajar.
Metode istinbath yang digunakan Ibn
Taimiyah yaitu:
Ø
Al-Qur’an,
Ø
Sunnah,
Ø
Ijma’ dan
Ø
Qiyas.
Demikian makalah yang dapat kami buat,
semoga bermanfa’at. Kami sadar bahwa banyak kesalahan dalam pembuatan makalah
ini, baik dari tulisan maupun susunannya. Kritik dan saran yang membangun
sangat kami harapkan, untuk penyusunan makalah yang selanjutnya agar menjadi lebih baik.